Resensi Novel "Hulubalang Raja"


Hulubalang Raja




Pengarang  : Nur Sutan Iskandar
Penerbit  : Balai Pustaka Jakarta
Cetakan  : 1997
Tebal   : 360 halaman 

       Resensi ini mendalami budaya Indonesia dari novel-novel karya sastra. dalam buku ini terkisah seorang anak Raja yang diculik dan di buang oleh Juru Bicara Kerajaan yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Sang Raja; dengan tujuan jika sang raja tidak memiliki putra mahkota maka kedudukan raja akan di serahkan pada Juru Bicara Raja tersebut. “Dua puluh empat tahun lalu, yang menjadi datu rangga di Negeri Sumbawa, ialah RAJA Anjong, sedang Garahanya bernama Putri Nakia. Keduanya dipandang dan dimalui, disegani dan disayangi orang seluruh kerajaan Sumbawa, sampai kepada Rajanya Sultan Badrunsyah. Sebabnya bukan saja karena bangsawan tinggi, tetapi juga karena Raja Anjong seorang yang pandai memangku bumi, adil dan bijaksana
dalam putusannya, serta mempunyai kepandaian yang dalam. Datu Kalibela yang bernama Daeng Matita, adalah seorang bangsawan yang berasal dari pulau selayar. Datu Kalibela ini adalah seorang yang loba dan tamak kepada harta dan pangkat serta kekuasaan. Pada suatu hari, datanglah seorang nelayan yang bernama Genang kepada Raja Anjong, membawa kabar, bawha Ponto Wanike hendak menyerang kota Sumbawa, karena hendak menangkap Raja Anjong. Kabar ini didengar sendiri oleh oleh Genang dari seorang kaum bajak Ponto Wanike, yang dikenalnya benar, tatkala ia memancing ikan di Teluk Saleh. Beberapa hari sebelum Sumbawa akan diserang, ditinggalkannyalah kota ini dengan Garahanya dan dua orang bujangnya yang sangat setia kepadanya, dengan membawa apa yang sangat perlu saja baginya, dalam perahu kecil. Berangkatlah mereka jam sepuluh malam dengan penerangan cukup dari sinar bintang. Dua hari dua malam mereka berlayar; siang hari memakai layar kecil dan malam hari berdayung, jika tak ada angin turutan. Akhirnya sampailah mereka di panti sanggar ini, di mana mereka telah dua puluh tahun hidup tersekat dari manusia dan masyarakat ramai. Supaya rahasia ini jangan diketahui orang, ditukar merekalah namanya dengan Ompu Keli dan Ina Rinda.” Terang Ompu Keli pada La Hami. Di sini Ompu Keli terdiam beberapa lamanya, sebagai melintas kembali sekalian peristiwa yang menyedihkan itu, pun Ina Rinda mengenangkan nasibnya yang malang. “Jika demikian, dewalah Raja Anjong, datu Rangga Sumbawa itu dan dewa, Putri Nakia, Garaha Mangkubumi kerajaan Sumbawa,” kata La Hami kepada Kedua orang tuanya, “Alangkah malangnya dewa Kedua, karena fitnah dan kejahatan Daeng Matita.” “Belum lama kami ada di sini, pada suatu pagi tatkala aku ke pantai hendak mengail ikan, tiba-tiba terdengar oleh ku suara anak mengeak. Hatiku berdebar, karena suara yang sedemikian, sekali-kali tidak kusangka akan kudengar di sini. Selayang timbul takhyulku, yang menyangka suara itu bukan suara manusia, tetapi suara jin laut, yang hendak memperdayakan daku. Tetapi setelah teringat pula olehku, bahwa takhyul hanya ada dalam pikiran dan perasaan yang samar, kuperiksalah tempat itu dengan seksamanya. Ya, dalam suatu teluk kecil, kelihatan sebuah rakit yang terapung di atas air dan di atasnya ada seorang bayi, yang sedang menangis. Ia terbaring di atas sehelai tikar Jontal yang baik anyamannya dan diselimuti kain sutera bertekad emas, buatan Bima. Tatkala kuangkat bayi ini, nyatalah ia seorang anak laki-laki, yang baik parasnya dan tegap tubuhnya. Dokoh yang tergantung pada lehernya, terbuat dari emas yang sangat halus tempanya. Dokoh, selimut dan tilam ini, yang baik buatannya dan mahal harganya, menimbulkan keyakinan dalam hatiku, bahwa kanak-kanak ini bukan anak sembarang orang, tetapi anak orang baik juga; kalau bukan anak orang yang berpangkat tinggi, mungkin anak Raja-Raja. Lalu kubawa bayi ini kepada Ibumu, yang menerimanya dengan berlinang-linang air matanya, karena kesukaan dan kepiluan. Sekali.” terang Ompu Keli hal ihwal asal La Hami. “Dan tahukah engkau siapa nama yang kami berikan kepada anak ini?” Tanya Ina Rinda kepada anaknya dengan tersenyum, “La Hami,” lalu dipeluknya anak ini. ------------------- Di tengah-tengah keramaian dan kesukaan ini, duduklah Putri Nila Kanti dengan gundah-gulana rupanya, sedang ingatannya tiada di sana. “Mengapakah Ruma tiada bersiram?” tanya Wila. “Tak ingin lagi,” sahutnya dengan pendek, lalu termenung pula. “Sakitkah Ruma?” tanya Wila pula, yang mulai kuatir akan tuannya. “Sesudah beta melihat wajah muka anak muda tadi, seakan-akan hilanglah sekalian kesukaan dan keinginan hati beta. Siapakah anak muda ini? Di mana tempatnya? Dan mengapa ia ke Dompo ini?” kata Putri Nila Kanti pula kepada dayangnya yang dipercayai dan dikasihinya. ------------------- Mengapa anak Raja Sanggar ini dengan orang-orangnya tidak dibunuh saja, Kepala? Apa gunanya mereka dipelihara di sini? Banyak kerja mengurusnya dan mereka menghabiskan makanan, sedang rahasia kita diketahuinya. Bukankah lebih baik kalau mereka tadi dibunuh saja di luar,” kata Karaka kepada Manderu. “Aku hendak mencoba mendapat hasil daripadanya,” jawab Manderu “Bagaimana jalannya? Dijual sebagai budak ke pulau lain? “Mungkin. Atau kepada Ponto Wanike, bajak laut yang mudah membawanya ke pulau lain. Tetapi lebih dahulu akan kucoba mendapat uang tebusan dan bapaknya, Sultan Sanggar.” “He, aturan baru,” sahut Karaka dengan berpikir. “Dibunuh, takkan mendatang keuntungan, hanya kecapaian. Sedang sesudah kita terima uang tebusan dan ayahnya, masih dapat kita jual dia kepada Ponto Wanike. Dua kali untung, dengan tak rugi.” “Memang benar,” sahut Karaka. “Tak sampai ke sana pikiranku.” “Dan ada yang akan lebih menguntungkan lagi dan Lalu Jala ini‟ „Apa itu?” tanya Karaka pula dengan agak heran. „„Putri Nila Kanti.‟‟ “Hah! Ia pun akan engkau jual?” „Mengapa tidak? Harganya akan lebih banyak dani harga Lalu Jala, sebab Ia perempuan cantik.” „Tetapi putri ini belum ada dalam tangan kita.‟ “Mustahilkah akan mendapatnya?” “Jangan kaulupakan, ia ada dalam istananya, yang letaknya di tengah-tengah negerinya, dijaga oleh laskarnya.” “Engkau bukan Karaka, kalau engkau tak dapat mencari akal, untuk mengambilnya dan pangkuan ibunya sekalipun.” deru. ------------------- “Ya, aku Nila Kanti, Putri Dompo. Tuan siapa?” kedengaran suara perlahan-lahan dan dalam. “Patik La Hami dan Sanggar, hendak melepaskan Tuanku.” Suara jeritan yang lekas dapat ditutup, kedengaran di dalam, yang diikuti suara sedu .... Sudah itu barulah ke luar perkataan Putri Nila Kanti, “La Hami, tolong aku!” “Segera Tuanku. Sabar dan diam!” Dengan segera Lalu Hami dan Maliki menggagahi pintu penjara mi, sehingga tiada berapa lama kemudian, terbukalah pintu mi, yang dikunci dan luar dan ke!uarlah Putri Nila Kanti. Di luar, Putri Nila Kanti lalu memeluk Lalu Hami dan dengan air mata yang bercucuran Ia berkata, “Terima kasih Lalu Hami, terima kasih kekasihku,” lalu pingsanlah ia dalam pelukan Lalu Hami. Sekejap mata Lalu Hami tiada berkata-kata, karena pelukan kekasihnya, yang sangat dicintainya ini dan karena perkataan Putri Nila Kanti yang menamainya “kekasihku,” sehingga tahulah ia bahwa Putri Nila Kanti pun cinta kepadanya. Dengan tiada diinsyafinya kedua belah tangannya memeluk putri Dompo pula, sedang pipinya mendapat pipi Nila Kanti, yang kepalanya tersandar di bahu Lalu Hami. Berapa lamanya ia di dalam Surga Janah i, tiada diketahuinya, tetapi tiba-tiba didengarnya suara Maliki, “Hamba bermohon mencari Ruma Lalu Jala, Dewa.” Di situ barulah Ia ingat, bahwa kekasihnya yang ada dalam tangannya, sekali-kali belum terlepas dan bahaya pembegal yang jahat itu. Bahkan ia ada dalam sarang harimau yang ganas, yang pada waktu itu sedang tidur Tetapi apabila Ia bangun kembali, niscaya ia dengan kekasihnya akan masuk ke dalam neraka jahanam. Oleh sebab itu dengan segera Ia menjawab, “Ruma Lalu Jala serahkan kepadaku! Engkau segera membawa Putri Nila Kanti ke luar dan tempat ini dan langsung ke Kempo. Minta pertolongan Jenali Kempo, mengantarkan Putri Nila Kanti ke Dompo dengan pengantar yang kuat‟ “Dan Dewa?” tanya Maliki dengan kuatir, “Aku tinggal di sini menolong Ruma Lalu Jala.”“Sendiri saja?”  “Ceritakanlah! Beta ingin mendengarnya,” kata permaisuri. Kedua bentara ini lalu bercerita, bahwa mereka telah menghadap Toreli Lalu Abdul Hamid, yang kebenaran sedang menilik Raja Anjong, yang mulai sembuh dan lukanya, sedang gahara beliau, Putri Nakia pun ada pula bersama-sama. “Setelah patik persembahkan, bahwa patik keduanya diutus oleh Puma Permaisuri Bima, untuk memohonkan beberapa keterangan tentang La Hami yang telah datang ke Bima dahulu dan ayah bunda beliau Ompu Keli dan Ina Rinda, lalu dipastikanlah oleh ketiga Ruma itu, bahwa Toreli Lalu Abdul Hamid, memanglah La Hami, yang telah datang ke Bima ini waktu perayaan sirih puan yang baru lalu. Beliau tiada tenggelam di Selat Sape, tetapi terdampar di Teluk Warorada dan ditolong oleh orang Sondo, lalu kembali ke Sanggar, sedang Ruma Raja Anjong, memanglah Datu Rangga Sumbawa dahulu yang melarikan diri ke Pantai Sanggar, lalu menukar nama beliau di sana dengan Ompu Keli, sedang gahara beliau yang bernama Putri Nakia, memakai nama Ina Rinda. Toreli Lalu Abdul Hamid bukanlah putra kandung Ruma Raja Anjong, tetapi putra
angkat beliau, yang bertemu di pantai taut Sanggar, kira-kira 24 tahun yang lalu, tatkala Ruma itu masih berusia kira-kira sebulan.” Permaisuri Cahya Amin pucat mukanya mendengar kepastian ini, sedang baginda dan Putri Sari Langkas berdebar-debar jantungnya sehingga seakan-akan gemetar tubuhnya. “Adakah konon suatu tanda yang didapat Raja Anjong bersamaan dengan kanak- kanak itu?” tanya permaisuri dengan gemetar suaranya. “Ada Ruma, patik bawa, yaitu sehelai tilam daun Jontal, buatan Bima yang amat baik anyamannya, sehelai selimut buatan Bima pula, yang amat permai tenunannya dan sebuah Dokoh mas, pun buatan Bima pula, yang amat elok tempaannya.” “Mana, mana? Segera perlihatkan kepadaku!” kata permaisuri tergesa-gesa dengan suara yang gugup, karena tak sabar. Kedua utusan mempersembahkan dengan segera ketiga tanda-tanda yang dibawanya kepada permaisuri, yang seakan-akan merebut barang-barang ini dan tangan kedua bentaranya, lalu diperhatikannya beberapa lamanya dan diperiksanya benar-benar. Setelah itu tiba-tiba menjeritlah ia, “Anakku!” katanya, lalu rebah pingsan, tiada khabarkan dirinya. 

KOMENTAR :
Novel ini sangat menarik, dengan cerita yang dikarang oleh Marah Rusli, adalah runtutan cerita nyata dari Sumbawa, dengan hanya diganti nama dan tempat-tempat terjadinya peristiwa itu. Ini membuktikan bahwa Indonesia, khususnya Sumbawa adalah salah satu dari keragaman warna budaya Indonesia. Budaya akan kehidupan raja-raja yang penuh kebijaksanaan dan kemurahan hati dan tokoh La Hami sebagai seorang Sumbawa yang memiliki kebaikan sebagai manusia biasa dan sebagai seorang bangsawan yang berilmu dan beradab. Dengan membaca buku karangan marah Rusli ini, diharapkan kita dapat menambah pengetahuan, baik dalam segi individu maupun dalam berorganisasi, berbangsa, dan bernegara. Buku ini mempunyai banyak keunggulan dengan pesan-pesan yang tersirat di dalamnya. Dan kelemahan dari buku ini, hanya mengenai hal bahasa yang masih menggunakan bahasa Sumbawa Melayu sebagai bahasa terdahulu negara Sumbawa. Tetapi Walaupun demikian bahasa dalam novel ini memberikan kita pengetahuan tentang tata bahasa karya sastra lama   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Cerpen "Cinta Adalah Kesunyian"

Resensi Kumpulan Puisi "Hujan Bulan Juni"

Resensi Novel "Kubah"