Resensi Novel "Pukat"
PUKAT
Identitas buku
Judul : Pukat
Pengarang : Tere Liye
Penerbit : Penerbit Republika
Tahun penerbit : Februari 2010
Tebal halaman : 352
Kota terbit : Jakarta Selatan
Dialah Pukat, anak kedua yang lahir dari keluarga Mamak Nur dan Syahdan, keluarga yang
amat menjunjung harga diri dan kedisiplinan. Keluarga yang juga amat dihormati oleh warga
desa lain di desanya, yang berada di pedalaman Sumatera.
Tidak seperti adik dan kakaknya, Pukat memiliki kepribadian sendiri yang berbeda dengan
lainnya. Pukat seorang yang kreatif, juga sangat cerdas. Kecerdasannya ini bahkan diakui oleh
banyak orang. Orang-orang, mulai mengakui kecerdasan Pukat ketika suatu hari, bersama
ayahnya, Syahdan, Pukan pergi menggunakan kereta menuju desa lain untuk membeli kopi. Di
perjalanan pulang, yang juga menggunakan kereta, ada satu kejadian yang amat-sangat
menegangkan. Terjadi perampokan yang dilakukan oleh beberapa orang di dalam kereta. Modua
yang mereka lakukan adalah melakukan perampokan ketika kereta mulai memasuki terowongan,
yang mana pada zaman itu kereta belum memiliki lampu, sehingga terowongan yang amat
panjang membuat waktu yang dimiliki para perampok itu sangat banyak.
Para perampok, bahkan sampai harus menembakkan senjata api kea rah atas karena banyak
penumpang yang tidak mau menyerahkan harta miliknya. Hal ini tentu saja membuat takut
semua penumpang. Di saat yang sama, di tengah kegelapan dan seluruh penumpang bahkan tidak
dapat melihat satu sama lain, Pukat mempunyai ide untuk mengetahui siapa perampok yang ada
di sekeliling mereka.
Digunakanlah kopi bubuk yang baru saja dia beli di kota sebrang. Diambilnya bubuk tadi,
lalu digenggamnya. Ketika kawanan perampok tadi melewati dirinya, maka serbuk kopi tadi
disebar di sekitar sepatu perampok dengan perlahan. Dengan begitu, meskipun lampu mati,
penumpang dapat mengetahui siapa permapoknya dengan cara membaui sepatu satu-satu
penumpang. Jika ada sepatu yang memiliki aroma kopi, maka dialah perampoknya.
Alkisah, saat kereta berhenti, dan sebelum itu Pak Syahdan, ayah Pukat, menelepon pihak
stasiun bahwa di kereta ada perampok, maka diadakanlah penggeledahan besar-besaran. Saat itu
Pukat memberitahu ayahnya bahwa cara untuk mengetahui perampoknya adalah dengan
menghirup satu persatu sepatu milik mereka.
Setelah dilakukan usul dari Pukat, tertangkaplah siapa perampoknya, dan apa saja
motifnya, serta kawanannya –yang juga beberapanya menunggu di terowongan.
Setelah berbulan-bulan selepas kejadian tersebut, Pukat pun pernah memiliki kisah lain
yang sama menegangkannya, kisah yang menuntun dia paham akan arti persahabatan. Yaitu
kisah ketika bersama teman-teman sekolahnya, mereka bersama pergi ke sungai hutan. Alasan
mereka pergi ke sana adalah, untuk sekadar membuktikan ucapan warga kampong, bahwa di
sungai itu terdapat buaya yang sangat besar.
Karena tidak mudah percaya akan ucapan warga desa, maka Pukat bersama teman-
temannya ingin mengkonfirmasi langsung ucaoan dari warga desa tersebut. Ketika sampai di
sungai, ternyata Pukat tidak menemukan satu hewan buas pun di sana. Semakin yakinlah Pukat
bahwa buaya penunggu sungai hanya mitos belaka. Namun, saat Pukat mulai berpikir demikian,
ternyata temannya menyadari ada hal aneh di sekitar sungai. Saat mereka baru sadar bahwa itu
buaya, sedangkan mereka sendiri sedang ada di dalam sungai, saat itulah mereka hampir mati
dimangsa buaya terbut. Namun, dengan kekuatan persahabatan, akhirnya mereka semua lolos
dari maut tersebut.
Pesan: Novel ini juga sangat bagus, mengangkat dunia kecil beserta pikiran polos anak-
anak seusianya.
Komentar
Posting Komentar