Resensi Novel "Para Priyayi"
Pengarang : Umar Kayam
Penerbit
:
Pustaka Utama Grafiti
Cetakan
:
1992
Tebal :
308 halaman
Novel ini menceritakan tentang Soedarsono
seorang anak dari keluarga buruh tani yang oleh orang tua dan sanak saudaranya
diharapkan dapat menjadi “sang pemula” untuk membangun dinasti keluarga priyayi
kecil. Berkat dorongan Asisten Wedana Ndoro Seten ia bisa sekolah dan kemudian
menjadi guru desa. Dari sinilah ia memasuki dunia elite birokrasi sebagai
priyayi pangreh praja. Ketiga anaknya melawati zaman Belanda dan zaman Jepang
tumbuh sebagai guru opsir peta dan istri asisten wedana. Cita-cita keluarganya
berhasil. Benarkah? Lalu apakah sesungguhnya “priyayi” itu? Status kelas?
Pandangan dunia kelas menengah elite birokrasi? Sekadar gaya hidup? Atau
kesemuanya?
Bagi yang senang dengan sejarah, romansa
dan drama, buku ini mungkin merangkum semuanya. Novel “Para Priyayi“-nya Umar
Kayam ini memberikan suatu gambaran masyarakat Jawa yang paling elaboratif dari
karya lain yang pernah saya baca. Sungguh “Jawa”, ringan, diplomatis, sopan,
berkesan basa-basi, tapi barmakna sangat dalam. Umar Kayam mereka–reka sebuah kota
bernama “Wanagalih” yang sepertinya identik dengan Ngawi. Tidak jelas kenapa
dia memakai nama ini sementara dari keseluruhan plot cerita, setting tempat dan
waktunya boleh dikata nyata (tidak ada tempat rekaan) mulai dari Suasana
perkampungan di Solo, Wonogiri, Yogya, sampai Istana Mangkunegaran, dll yang
mencakup tiga generasi di masa transisi
Indonesia, dari zaman Belanda, Jepang, kemerdekaan, Gestapu, sampai akhir
60-an.
Zaman-zaman yang penuh gejolak, dan
sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Jaman yang tidak pernah saya alami
sendiri, membaca novel ini ada gambaran yang bisa dimunculkan di dalam kepala
tentang situasi saat-saat itu.Sebagian diantara setting novel ini merupakan
daerah darimana saya berasal, dan tumbuh sehingga sangat subyektif memang kalau
itu menjadi salah satu keasyikan saya membaca novel ini. Seperti mengendarai
“mesin waktu” balik ke masa lalu. Dan
membandingkannya dengan gambaran yang saya punyai saat ini.
Penyampaian makna dari dalam novel ini cukup unik. Novel ini dibagi menurut tokoh tokohnya, Umar Kayam bercerita sebagai orang pertama dari tiap tokohnya. Walaupun begitu, antara bagian satu dan seterusnya tetap menjadi bagian yang utuh yang menjadi satu kesatuan cerita yang bisa juga dibaca secara terpisah meskipun tidak terkotak kotak menjadi seperti kumpulan cerpen.
Bagian yang mengajak kita merenung ( dan
cukup menarik menurut saya ) adalah dialog antara Lantip dan Pakdenya di akhir
cerita setelah pemakaman Eyang Soedarsono ….
“ K a l a u m e n u r u t k a m u , a p
a a r ti k a t a p ri y a y i it u , T i p ? ” “Sesungguhnya saya tidak pernah
tahu, Pakde. Kata itu tidak terlalu penting bagi saya.”
Lewat novel ini sepertinya Umar Kayam
ingin menyampaikan bahwa seseorang disebut priyayi bukan karena kedudukan dan
kekayaannya, karena banyak juga para priyayi ( dalam kontek sekarang kita bisa
membacanya pejabat / penguasa..? ) yang justru tidak ’mriyayeni’ . Sebuah karya
yang bisa menjadi rujukan bagi mereka yang ingin mengenal kehidupan masyarakat
tradisional Jawa, ataupun buat mereka yang ingin mencari akar Jawanya..!!
“ Para priyayi yang tidak mriyayeni. "
BalasHapus