Resensi Novel "Perihal Gendis"





Judul : Perihal Gendis 

Penulis : Sapardi Djoko Damono

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Desain Sampul : Suprianto

Tebal : 58 halaman

Cetakan Pertama : Oktober 2018

ISBN : 978-602-03-9841-9


Perihal gendis karya ; Sapardi Djoko Darmono


Prof. Dr. Sapardi Djoko Darmono adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka. Sapardi Djoko Darmono juga disebut sebagai "Penyair legendaris Indonesia" yang baru saja merilis kitab puisi terbarunya. Karyanya ini dinamakan Perihal Gendis yang rilis pada 6 Oktober 2018. Prof. Dr Sapardi Djoko Darmono lahir di Surakarta, 20 Maret 1940.

Perihal Gendis ditulis oleh Eyang Sapardi pada masa pemulihannya setelah sempat hampir sebulan dirawat di rumah sakit beberapa waktu lalu.

Antologi puisinya kali ini berisikan 15 puisi panjang yang sebagian isinya mengisahkan Gendis, gadis remaja beranjak dewasa yang berteman dengan sepi.
Menariknya di dalam kitab puisinya kali ini, Sapardi juga menghadirkan ilustrasi abstrak penuh warna di beberapa halaman yang lahir dari tangannya sendiri.

Melaui sudut pandang gadis usia 12 tahun, Gendis dalam heningnya tak jarang akan berdialog dengan apapun yang ada di dekatnya. Segalanya seolah ingin mengatakan sesuatu pada Gendis, gadis lugu yang di rumah sendirian, ayahnya pamit pergi ke selatan dan ibunya bilang menyusul ke utara.

Perihal Gendis menjadi karya berbeda, sebab disebut kitab puisi dan bukan kumpulan puisi ataupun sepilihan sajak seperti buku-buku sebelumnya. Disebut dengan kitab, akibat di dalamnya memiliki satu fokus, yakni si Gendis.

Tapi Gendis hanyalah nama. Sesungguhnya Gendis merupa siapa saja yang selalu dihinggapi tanya dalam hening, kemudian bertikai dalam pikiran bersama dengan segala kekhawatiran dan keinginannya.

Selain berkisah tentang sepinya seorang Gendis, sebagian lainnya akan berbicara tentang waktu dan juga kematian dengan cara yang indah.
Puisi dalam Perihal Gendis bagai sebuah renungan dalam pencarian jati diri. Tentu akan kurang nikmat rasanya jika hanya sepintas disesapi. Karena sejatinya puisi tetaplah alat penyampai pesan, meskipun apa yang diisyaratkan penyair belum tentu sama dengan yang dimaknai pembacanya.
Sebab itulah, pada satu waktu sang empu ratusan puisi ini pernah berpesan, ”Puisi itu untuk dinikmati, nggak usah mikir ini artinya apa itu artinya apa, nikmati saja."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Cerpen "Cinta Adalah Kesunyian"

Resensi Kumpulan Puisi "Hujan Bulan Juni"

Resensi Novel "Kubah"